Bandung, Bewarajabar.com – Gelombang penolakan terhadap wacana Reforma Agraria di kawasan hutan dan kebun negara terus menguat.
Serikat Pekerja Perkebunan (SPBUN) PTPN I Regional 2 bersama Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) menegaskan sikap tegas mereka untuk menolak segala bentuk okupansi maupun penjarahan lahan yang berpotensi merusak lingkungan sekaligus mengancam keberlangsungan hidup masyarakat.
Ketua Umum SPBUN PTPN I Regional 2, Adi Sukmawadi, menekankan bahwa lahan perkebunan yang dikelola PTPN merupakan aset negara yang sah dan dilindungi hukum.
Adi dan petani pemetik teh di Kebun Cisaruni Garut, menolak segala bentuk penjarahan hutan karena mengancam keberlangsungan ribuan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor perkebunan.
“Lahan perkebunan yang dikelola PTPN I Regional 2 adalah milik negara dan dilindungi hukum. Tidak boleh ada tindakan sepihak yang merugikan negara dan pekerja,” tegas Adi, dikutip dari laman Tribun Jabar, Senin (29/9/2025).
Menurutnya, aksi penyerobotan, intimidasi, maupun provokasi yang kerap terjadi di area perkebunan bukan hanya merugikan negara, tetapi juga mengancam ribuan pekerja yang menggantungkan hidup dari sektor perkebunan.
Adi menambahkan, setiap persoalan harus diselesaikan melalui dialog terbuka dan jalur hukum yang sah, bukan dengan konfrontasi.
“Momentum Hari Tani Nasional seharusnya jadi ajang memperkuat sinergi, bukan konfrontasi. SPBUN siap bekerja sama dengan petani, pemerintah, dan semua pemangku kepentingan untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional serta kesejahteraan rakyat Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua FPHJ, Eka Santosa, mengingatkan bahwa hutan tidak bisa dipandang hanya dari sisi ekonomi. Bagi masyarakat adat, hutan adalah ruang hidup dengan nilai spiritual dan ekologis.
“Leuweung rusak, cai beak, rakyat balangsak,” katanya, mengutip pepatah Sunda. “Menjaga hutan bukan hanya soal ekologi, tetapi juga menjaga kemanusiaan dan bentuk ibadah kepada Sang Pencipta.” seperti dikutip dari laman iNews BandungRaya.id.
Eka menegaskan, konstitusi jelas menugaskan negara untuk melindungi hutan demi kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Karena itu, ia menolak keras menjadikan hutan sebagai objek Reforma Agraria melalui skema Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) maupun Perhutanan Sosial.
“Jika kebijakan ini diterapkan tanpa kajian ekologis yang matang, risiko banjir, longsor, hingga kekeringan akan semakin besar. Negara tidak boleh abai,” tegas Eka.
Sekretaris FPHJ, Thio Setiowekti, menilai langkah DPR/MPR dan pemerintah yang menerima perwakilan Serikat Petani Pasundan (SPP) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada peringatan Hari Tani terlalu gegabah.
“Statemen-statemen mereka implikasinya bisa menimbulkan konflik sosial dan horizontal. Bahkan modus yang sering terjadi adalah menjarah dulu, lalu mengajukan sertifikat. FPHJ akan menghadang proses reforma agraria di kawasan lindung, khususnya di Pulau Jawa,” ujarnya.
FPHJ bahkan telah mengeluarkan maklumat enam poin, di antaranya: mempertahankan status hutan negara sebagai penopang kehidupan, menolak menjadikannya objek Reforma Agraria, menegaskan aturan alih fungsi hutan harus diganti dua kali lipat luasannya, serta mendesak agar minimal 30 persen luas daratan tetap berupa hutan sebagai syarat ekologis utama.
Kedua organisasi ini sepakat, jika prinsip-prinsip tersebut diabaikan, rakyatlah yang akan menanggung dampak paling besar, mulai dari deforestasi, krisis air, bencana ekologis, hingga ancaman pada kedaulatan pangan nasional.
Discussion about this post