Bewarajabar.com – Sudah menjadi rahasia umum di kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor dan juga Cipanas, Kabupaten Cianjur banyak terjadi praktik-praktik pernikahan antara wisatawan mancanegara dengan warga setempat.
Pernikahan dengan jangka waktu tertentu yang sering disebut kawin kontrak tersebut cukup meresahkan karena memang menyalahi aturan baik secara agama maupun hukum positif yang berlaku.
Bahkan disinyalir terjadi eksploitasi seksual prostitusi berkedok kawin kontrak dengan tarif tertentu antara 5 – 10 juta rupiah dengan durasi 3 – 7 hari seperti pernah diungkap oleh Bareskrim Polri tahun 2020 yang lalu.
Kasus kawin kontrak muncul kembali ke permukaan setelah terjadi kasus tewasnya seorang wanita pelaku kawin kontrak yang dipaksa minum air keras oleh pasangannya di wilayah Cianjur.
Meskipun Pemerintah Kabupaten Cianjur telah menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) Cianjur tentang Pencegahan Kawin Kontrak pada Juni 2021 yang lalu, namun nampaknya masih saja terjadi praktik-praktik tersebut.
Berkaca pada kejadian-kejadian yang meresahkan tersebut, MUI Kabupaten Bogor mendorong Pemkab Bogor untuk membuat Perda sehingga dapat menindak para pelaku kawin kontrak.
Dilansir dari tempo.co, Ketua Bidang Pendidikan MUI Kabupaten Bogor, Saepudin Muhtar mengatakan dorongan tentang Perda Kawin Kontrak atau Kawin Wisata itu secara resmi diusulkan dalam hasil Ijtima ’Ulama Bogor yang digelar pada 13 Desember 2021.
Saepudin menyebut, usulan Perda itu termaktub dalam point hasil ijtima dan langsung diserahkan kepada Bupati Bogor, Ade Yasin.
Saepudin mengatakan poin ke enam hasil dari Ijitima para ulama ini, menyebutkan bahwa MUI mendorong dan meminta Pemkab Bogor menyikapi serius perihal kawin kontrak ini.
Usulan Perda Kawin Kontrak ini, kata dia, untuk melindungi warga masyarakat dari praktik yang dilarang oleh Negara dan khususnya agama.
“Karena kalau sudah ada Perdanya kan Pol-PP juga bisa menindaknya,” ucap Gus Udin sapaan akrabnya kepada Tempo, Ahad 19 Desember 2021.
Saepudin menyebut hasil ijtima yang mendorong terbitnya Perda Kawin Kontrak, juga berasal dari dorongan para ulama dari level Desa yang kemudian diteruskan ke Tingkat Kecamatan dan seterusnya ke MUI tingkat Kabupaten.
Artinya, menurut Saepudin, praktik kawin kontrak ini meresahkan dan telah mengganggu ketertiban umum masyarakat di bawah, khususnya wilayah Puncak yang dicap sebagai wilayah yang menerima wisata kawin kontrak.
“Praktik kawin kontrak ini ada di belahan Indonesia lainnya dan gak hanya di Bogor, cuma kami yang kena cap banyaknya kawin kontrak. Nah ini meresahkan, terutama dengan adanya kejadian istri kontrak yang terjadi di Cianjur,” katanya.
“Semua kiai dan ulama dari bawah mengusulkan agar penertiban kawin kontrak bisa dilakukan oleh Pemda juga, berkoordinasi dengan kepolisian selaku penegak hukumnya dan kita penegak perda di Tibumnya,” ujar Gus Udin.
Bupati Bogor Ade Yasin mengatakan dirinya langsung merumuskan langkah dan kebijakan yang akan diambil.
Sebab, jika merunut pada Undang-undang dan Hukum, tentu kawin kontrak itu sudah dilarang dan tidak diperbolehkan, serta ada ancaman pidana bagi para pelakunya.
“Namun untuk awalan, kita akan terbitkan dulu peraturan Bupati. Dengan Perbup itu, ke depan Satpol-PP bisa membantu pihak kepolisian dalam menertibkan dan menindak pelaku praktik kawin kontrak.
“Sebagaimana diketahui, berkali-kali kita tindak praktik itu terus aja ada meski tidak sebanyak dulu. Nah dengan adanya Perbup ini, jauh lebih meningkatkan penertiban ke depannya,” kata Ade Yasin.