Bandung Barat, Bewarajabar.com – Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail kembali menjadi sorotan publik setelah gelombang isu jual beli jabatan mencuat ke permukaan.
Dalam pernyataan resminya, Jeje menegaskan bahwa tidak ada praktik transaksional dalam rotasi dan mutasi pejabat di masa kepemimpinannya bersama Wakil Bupati Asep Ismail.
“Saya pastikan, di kepemimpinan saya tidak ada jual beli jabatan. Kalau ada yang berani, akan saya tindak tegas,” kata Jeje di Bandung, Sabtu (19/10).
Namun, di balik penegasan itu, aroma busuk dugaan mahar jabatan dan permainan proyek APBD justru semakin kuat. Sejumlah sumber internal Pemkab Bandung Barat menyebut, pusat kendali permainan itu mengarah pada figur Sekretaris Daerah (Sekda) berinisial AZ, yang kini tengah menjadi sorotan tajam publik dan aktivis antikorupsi.
Pemerhati kebijakan publik Agus Satria mengungkapkan bahwa AZ disebut telah menggelontorkan dana hingga Rp8 miliar saat menjabat sebagai Penjabat (PJ) Bupati Bandung Barat. Uang itu, kata Agus, disetorkan kepada lingkaran tertentu di Kementerian Dalam Negeri melalui jalur tak resmi untuk mengamankan posisinya.
“Informasi yang kami peroleh menyebutkan sebagian dari dana itu belum lunas. Karena itu, muncul dugaan bahwa AZ kini mencari cara menutup kekurangan tersebut lewat kendali atas proyek-proyek APBD,” ujar Agus Satria.
Dugaan inilah yang menjelaskan mengapa sejumlah mutasi pejabat dan penunjukan proyek terkesan tidak transparan dan sarat kepentingan. Para pejabat yang “loyal” disebut mendapat posisi strategis untuk memastikan aliran dana tidak terputus.
Lebih jauh, Agus mengungkapkan adanya sosok pengusaha besar yang dikenal memiliki jejaring hingga tingkat pusat, sebagai penyandang dana utama AZ.
Pengusaha besar itu disebut sebagai tokoh di balik layar yang mampu “mengatur arah kasus” dan melobi sejumlah pihak agar laporan dugaan korupsi APBD terhadap AZ tidak bergulir ke penegak hukum.
“Nama pengusaha ini akan kami sampaikan ke KPK sebagai bagian dari berkas tambahan. Kami punya bukti yang akan menguatkan keterlibatan jaringan ini,” tegas Agus.
Salah satu langkah strategis AZ untuk memperkuat cengkeramannya disebut melalui penunjukan HBP sebagai Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) sekaligus Pelaksana Tugas Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
Dua posisi vital ini secara langsung mengontrol pendapatan dan pengeluaran daerah — menjadikan aliran uang daerah berpusat pada satu tangan.
“Ini bukan hanya maladministrasi, tapi juga bentuk monopoli kekuasaan keuangan. Sangat berbahaya bagi sistem pemerintahan,” tutur Agus Satria.
Tak berhenti di situ. Dalam proses seleksi Sekda definitif, AZ juga disebut harus “menyetor” mahar politik tambahan sebesar Rp3 miliar untuk mengamankan kursinya.
Ironisnya, saat seleksi berlangsung, AZ tidak mengikuti proses open bidding secara penuh karena sedang melaksanakan umrah.
Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang validitas seleksi jabatan dan potensi penyalahgunaan kewenangan yang menyertainya.
Selain dugaan kuat keterlibatan AZ, pengamat juga menyoroti peran oknum legislatif berinisial DAM yang disebut aktif mengatur rotasi-mutasi pejabat, alokasi proyek, bahkan penunjukan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Sementara itu, seorang asisten pribadi (aspri) Bupati bernama Ridwan juga disebut-sebut menjadi “penjaga gerbang” birokrasi, mengatur akses pejabat yang hendak bertemu bupati.
“Ini jelas memperlihatkan sistem birokrasi yang sudah terkooptasi kepentingan kelompok. Tidak sehat dan tidak transparan,” kata Agus.
Agus Satria mendesak aparat penegak hukum, termasuk KPK RI, untuk segera melakukan audit investigatif terhadap seluruh kegiatan anggaran di Diskominfotik, Dinkes, dan Sekretariat DPRD KBB.
“Kami menantang aparat hukum membuktikan, apakah benar tidak ada jual beli jabatan dan gratifikasi proyek. Kami sudah pegang indikasi kuat keterlibatan beberapa pihak dalam proyek APBD 2025,” ujarnya.
Jeje di Persimpangan Jalan: Reformasi Birokrasi atau Pembiaran
Kini, semua mata tertuju pada Bupati Jeje Ritchie Ismail. Publik menunggu apakah ia benar-benar berani memutus mata rantai “politik balas budi” dan “mahar jabatan” yang telah menggerogoti Bandung Barat selama bertahun-tahun — atau justru memilih diam dan membiarkan pusaran korupsi moral itu terus bergulir.
“Sejarah akan mencatat, apakah Bandung Barat bisa bersih dari politik uang dan jual beli jabatan, atau tenggelam lebih dalam ke rawa kekuasaan,” tutup Agus Satria.***
Discussion about this post