Bewarajabar | Bandung – Masa kampanye dipangkas menjadi 75 hari, Pengamat Pemilu mendorong pemerintah membuat Peraturan Pengganti UU (Perppu) untuk revisi terbatas, agar lalulintas pesta demokrasi nggak semrawut.
Pengamat Pemilu Ramdansyah mengatakan kesepakatan antara KPU RI dan DPR RI, soal pemangkasan masa kampanye dari 90 hari menjadi 75 hari harus ditindaklanjuti dengan menyesuaikan ketentuan ketentuan lainnya.
“Kalau sebelumnya, pemerintah menentukan masa kampanye selama 90 hari tentu ketentuan itu ada cantolannya dan hitung-hitungannya, jadi bila ketentuan lama itu sekarang diubah, ada baiknya disesuaikan juga cantolannya,” katanya.
Ramdansyah yang juga Pimpinan Rumah Demokrasi meminta Perppu tersebut harus dibuat secara tegas, tidak melebar ke isu-isu substansi lainnya.
“Perppu yang dikeluarkan tidak melebar kepada isu-isu substansi lainnya, tetapi hanya pada tahapan Pemilu serentak 2024 yang dianggap kurang sinkron. Perppu dapat mensingkronkan peristiwa Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.
Pembuatan Perppu, urai Ramdansyah, merupakan pertimbangan hukum dari Mahkamah Konsitusi dalam Putusan MK No 55/PUU-XVII/2019 menyatakan bahwa, “kemungkinan adanya Pemilu serentak, maka penentuan model yang dipilih menjadi wilayah bagi pembentuk UU untuk memutuskan.”
Ada sejumlah kriteria untuk membuat UU itu antara lain agar pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas.”
Mengenai durasi masa kampanye yang disepakati akan dilaksanakan selama 75 hari, kata Ramdansyah tidak boleh mengabaikan kepastian dari Pemilu.
“Pemilu itu pasti dalam proses, tetapi tidak pasti dalam hasil. Pengurangan masa kampanye yang mengerucut dari 90 menjadi 75 hari tentunya harus memberikan kepastian proses pelaksanaan Pemilu 2024,” ujar Mantan Ketua Panwalu DKI Jakarta ini.
Selain itu, ada sejumlah pertimbangan yang harus menjadi acuan dalam menentukan masa kampanye.
Pertama: Terkait Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu yang membutuhkan waktu untuk inkracht. Menurutnya, KPU dan Bawaslu dalam posisi harus menunggu Putusan Pengadilan Tata usaha negara, yang sangat mungkin menambah jumlah Calon dan mempengaruhi desain surat suara.
Kemudian kedua, Terkait percetakan surat suara yang terpusat hanya di beberapa titik.
“Di saat yang bersamaan antara masa kampanye juga sedang berlangsung pencetakan dan pendistribusian surat suara yang menunggu Putusan Inkracht pengadilan ada atau tidaknya tambahan Calon,” paparnya.
Selanjunya, ketiga menyangkut Distribusi Surat suara dan formular rekap suara.
“Pendeknya masa kampanye 90 atau 75 hari harus mempertimbangkan distribusi surat suara dan alat perlengkapan lainnya selama tengat. Jangan sampai terjadi penundaan Pemilu yang disebabkan belum sampainya perangkat tersebut di sejumlah pelosok daerah,” jelas mantan Sekjen Partai Idaman ini.
Tiga persoalan penting tersebut, urai Ramdansyah, harus ada jalan keluar dalam bentuk Contigency Plan.
Karena pemilu di negara manapun, kata dia, penyelenggara harus punya jalan keluar ketika terjadi persoalan.
“Penyelenggara harus memastikan semua persoalan diatas bisa terselesaikan ketika muncul di permukaan. Dengan adanya jalan keluar, maka keserentakan Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif dan Pilkada dapat meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, tetapi tanpa meninggalkan asas kepastian penyelenggaraan Pemilu,” tuturnya.
Contingency plan pertama, lanjut Ramdansyah, dapat melihat bagaimana Mahkamah Konstitusi menyaring perkara Caleg dengan memberikan ambang batas permohonan sengketa hasil dari 0,5% hingga 2% agar dapat diuji dalam perselisihan hasil pilkada di MK.
“Otomatis tidak terjadi penumpukan perkara di MK. Dengan durasi kampanye yang singkat maka harus ada kebijakan Mahkamah Agung (MA) untuk mengurangi penumpukan perkara ketika berkas gugatan Caleg di Pengadilan Tata Usaha Negara / Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Tentu saja, jalan keluar ini tidak boleh mengurangi keadilan substansi dari Caleg yang mencai keadilan,” bebernya.
Contingency plan kedua, kata pemilik sejumlah gelar akademis ini, adalah terkait dengan mekanisme dan pengadaan logistik Pemilu. Pemerintah dapat mengeluarkan payung hukum dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres) untuk mengsinkronkan mekanisme dan pengadaan logistik.
“Penyelenggara diharapkan tidak melanggar hukum dengan keberadaan Keppres ini,” paparnya.
Selanjutnya Contingency plan ketiga, adalah dengan membuat Peraturan Pengganti UU (Perppu) untuk revisi terbatas.
Perppu ini diharapkan dapat membuat jadwal yang tidak bertabrakan satu sama lain antara tahapan Pemilu dan Pilkada.” (Sobur)