Bewarajabar | Bandung – Kasus HIV/AIDS di Kota Bandung terlihat seperti fenomena gunung es. Kondisi ini bisa semakin diperparah dengan stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat terhadap para pengidap HIV/AIDS.
Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani, semakin cepat penyakit ini bisa dideteksi, maka harapan hidup sehat dan produktif bagi para pengidap HIV/AIDS bisa semakin tinggi.
“Meskipun tidak bisa sembuh, tapi bisa berkurang sampai tidak bisa terdeteksi atau undetectable. Kalau tidak terdeteksi, dia tidak bisa menular. Makanya kita mesti cari yang HIV/AIDS karena kalau tidak, nanti terlihatnya seperti fenomena gunung es,” jelas Ira kepada Humas Kota Bandung, Jumat, 26 Agustus 2022.
Baginya, stigma negatif tentang HIV/AIDS membuat para tenaga kesehatan sulit mendeteksi secara dini. Padahal, jika bisa dideteksi secara dini, masih ada kesempatan agar seseorang tidak masuk ke fase AIDS.
“Jangan sampai ada yang meninggal karena sudah masuk fase AIDS. Semoga kita sudah bisa menemukan dan mengobati dari fase HIV saja,” harapnya.
Penyakit HIV/AIDS, jelas Ira, meski bisa diobati, tapi pengidapnya tak akan pernah sembuh. Jika seseorang telah terdiagnosa HIV dan tercatat, serta terlaporkan dalam Sistem Informasi HIV (SIH), maka datanya akan terus ada sampai meninggal. Sehingga jumlah kasusnya termasuk kumulatif.
“Kasusnya itu kita kumpulkan berdasarkan laporan selama 30 tahun dari 1991-2021. Jumlah total kasusnya sampai dengan Desember 2021 mencapai 5.843. 6,97 persennya mahasiswa atau terdapat 407 kasus selama 30 tahun,” paparnya.
Jika dirata-ratakan per tahun, kasus HIV/AIDS di Kota Bandung mencapai 300-400 kasus. Paling banyak faktor risikonya yakni hubungan heteroseksual.
Dari data yang dikumpulkan Dinkes Kota Bandung sepanjang 30 tahun terakhir, usia paling banyak yang terkena HIV/AIDS adalah 20-29 tahun.
“HIV ini perjalanan penyakitnya 3-10 tahun. Kalau daya tahan tubuhnya tidak baik, 3 tahun dia sudah menunjukkan gejala ke arah AIDS. Kalau daya tahan tubuhnya bagus, baru bisa kelihatannya 10 tahun kemudian,” jelasnya.
Meski begitu, sebenarnya ada faktor lain yang menyebabkan kasus HIV/AIDS bisa terjadi. Selain seks bebas dan penyalahgunaan napza, penularan dari ibu ke anak, serta tenaga medis yang mengalami kecelakaan kerja juga menjadi salah satu faktornya.
“Orang itu baru bisa didiagnosa HIV setelah dia melakukan tes karena tidak ada tanda dan gejala spesifik bagi orang yang terkena HIV. Namun, biasanya para pengidap ini malu untuk tes HIV/AIDS,” tutur Ira.
“Maka dari itu, kita harus hilangkan dulu stigma dan diskriminasinya agar seseorang itu mau untuk dites HIV,” imbuhnya.
Ia menuturkan, dengan demikian orang tersebut bisa hidup lebih produktif dan tidak masuk ke fase AIDS. Mata rantainya bisa diputus dengan pengobatan.
Pengobatan HIV/AIDS telah dijamin oleh pemerintah. Sehingga, Ira berpesan, jangan sampai para pengidap HIV/AIDS merasa seperti divonis mati.
“Sebab jika sudah diobati, virusnya bisa tidak terdeteksi dan tidak menularkan. Orangnya bisa menikah, bahkan punya anak,” ujarnya.
Beragam langkah telah dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk mencegah dan mengatasi HIV/AIDS. Mulai dari tindakan promotif hingga rehabilitatif.
Melalui tindakan promotif, Pemkot Bandung telah mengenalkan materi kesehatan reproduksi dari kalangan usia SMP atau remaja yang disesuaikan dengan kapabilitas usia mereka.
“Kita sudah ada program Hidup Sehat bersama Sahabat (HEBAT). Kita juga melakulan penyuluhan di tempat-tempat kerja,” ucap Ira.
Lalu, pada tindakan prefentif, setiap ibu hamil harus melakukan pemeriksaan amanat standar pelayanan minimal bidang kesehatan, salah satunya tes HIV.
Kemudian, dari tindakan kuratif, telah diterapkan Antiretroviral (ARV) terapi di rumah sakit dan beberapa puskesmas Kota Bandung. Selanjutnya, melalui tindakan rehabilitatif, dilakukan pendampingan untuk mengurai masalah psikologis, sosial, dan ekonomi dari HIV/AIDS.
“Di Kota Bandung ada WPA (Warga Peduli AIDS). Jadi memang kita menangani HIV/AIDS itu dengan LKB layanan komprehensif berkesinambungan,” akunya.
Namun, ia menekankan, tentu semua upaya ini harus dijalankan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Terlebih dalam mengurangi stigma negatif dan diskriminasi bagi para pengidap HIV/AIDS.
“Kalau kita tidak cari dan deteksi sedini mungkin, bisa jadi berpengaruh terhadap bonus demografi karena dia terus menularkan. Kalau gaya hidupnya tidak diperbaiki lebih cepat, bisa masuk tahap AIDS,” lanjutnya.