Bewarajabar.com – Tahun 2024 nanti akan dinantikan dalam tahun pemilihan presiden dan wakil presiden. Dalam hal ini beberapa partai dan tokoh telah menyiapkan beberapa hal dan strategi dalam pemilihan tersebut.
Hal ini juga dilakukan oleh beberapa partai salah satunya Partai Ummat resmi mengajukan gugatan UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar presidential threshold berubah dari 20 persen menjadi 0 persen.
Dilansir dari detik.com, menurut partai yang digawangi Amien Rais itu, aturan di atas membuat Partai Ummat tidak bisa mengusung capres di 2024 nanti.
“Bahwa Pasal 222 UU Pemilihan Umum telah melanggar ketentuan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945, telah mengakibatkan Pemohon dan partai politik baru lainnya akan kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikarenakan Pemohon belum menjadi peserta pemilihan umum sebelumnya, sehingga belum memiliki suara ataupun kursi dari hasil Pemilihan Umum Tahun 2019,” demikian bunyi permohonan Partai Ummat dalam website MK, dikutip oleh Detik.com pada hari Senin, 10 Januari 2022.
Menurut Partai Ummat, aturan presidential threshold 20 persen menjadikan penghilangan hak konstitusional (constitutional right) partai politik dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Mereka menilai hal itu akan terus berulang dalam setiap penyelenggaraan pemilihan presiden terhadap partai politik yang baru ikut pemilihan umum.
Presidential Threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden.
“Apabila diletakkan dalam konteks pemilihan umum tahun 2024 mendatang, ketentuan presidential threshold dapat menghilangkan hak konstitusional (constitutional right) Pemohon dan partai politik baru lainnya seperti Partai Gelombang Rakyat Indonesia untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujarnya.
Ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, kata Partai Ummat, secara implisit menghendaki munculnya beberapa pasangan calon dalam pemilihan presiden yang tidak mungkin dilaksanakan dalam hal hanya terdapat dua pasangan calon. Hak itu sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-XII/2014.
“Ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 justru memberikan basis konstitusi (constitutional basis) terhadap munculnya calon presiden lebih dari dua pasangan calon, sehingga presidential threshold jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 6A ayat (3) dan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945,” bebernya.
Oleh sebab itu, Partai Ummat meminta aturan itu dihapus dengan cara menghapus pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu berbunyi:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian permintaan Partai Ummat ke MK.
Sebagaimana diketahui, sejumlah orang menggugat Pasal 222 UU Pemilu soal presidential threhold 20 persen. Mereka adalah:
1. Ferry Joko Yuliantono
Waketum Partai Gerindra itu menggugat presidential threshold dari 20 persen menjadi 0 persen dengan alasan aturan itu dinilai menguntungkan dan menyuburkan oligarki.
2. Gatot Nurmantyo
Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential threshold) 20 persen menjadi 0 persen ke MK. Menurutnya, dalam ilmu hukum secara teoretik dikenal prinsip ‘law changes by reasons’. Dalam tradisi fikih juga dikenal prinsip yang sama, yaitu ‘fikih berubah jika illat-nya (alasan hukumnya) berubah’.
3. Dua Anggota DPD
Dua anggota DPD, Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudin asal Lampung, menggugat ke MK pekan lalu soal presidential threshold (PT) agar menjadi 0 persen. Fachrul Razi meminta doa dukungan kepada seluruh Indonesia agar demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan.
“Kedua, kita doakan kepada Allah SWT semoga tergugah hati Hakim MK memperhatikan dan memutuskan seadil-adilnya dalam rangka yang terbaik terhadap demokrasi Indonesia dan kita harapkan nol persen jawaban terhadap masa depan Indonesia. Salam PT nol persen,” tegas Fachrul Razi.
4. Lieus Sungkharisma
Lieus beralasan, suatu hak yang diberikan konstitusi sehingga menjadi hak konstitusional (constitutional right) tidak boleh dihilangkan/direduksi dalam peraturan yang lebih rendah (undang-undang). Ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta Pemilihan Umum jelas- jelas bertentangan dengan UUD 1945.
“Terutama Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945. Sudah seharusnya pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” ujar Lieus.
5. Tiga Anggota DPD
Fahira Idris, Tamsil Linrung dan Edwin Pratama Putra mengajukan gugatan serupa. Menurut Fahira Idris Dkk, Norma Pasal 222 UU a quo bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) dan (3) yang memberikan kesempatan kepada:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, serta untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Bahwa dengan berlakunya Pasal a quo, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan Pemilu, khususnya terkait dengan sistem pengajuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden,” beber Fahira Idris yang memberikan kuasa ke Ahmad Yani itu.
6. 27 WNI di Luar Negeri
Sebanyak 27 WNI di luar negeri dari berbagai penjuru dunia juga menggugat PT agar jadi 0 persen.
- Tata Kesantra, tinggal di New York, Amerika Serikat
- Ida irmayani, tinggal di New York, Amerika Serikat
- Sri Mulyanti Masri, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
- Safur Baktiar, tinggal di Pennsylvania, Amerika Serikat
- Padma Anwar, tinggal di New Jersey, Amerika Serikat
- Chritsisco Komari, tinggal di California, Amerika Serikat
- Krisna Yudha, tinggal di Washington, Amerika Serikat
- Eni Garniasih Kusnadi, tinggal di San Jose, California, Amerika Serikat
- Novi Karlinah, tinggal di Redwood City, California, Amerika Serikat
- Nurul Islah, tinggal di Everett, Washington, Amerika Serikat
- Faisal Aminy, tinggal di Bothell, Washington, Amerika Serikat
- Mohammad Maudy Alvi, tinggal di Bonn, Jerman
- Marnila Buckingham, tinggal di West Sussex, United Kingdom
- Deddy Heyder Sungkar, tinggal di Amsterdam, Belanda
- Rahmatiah, tinggal di Paris, Prancis
- Mutia Saufni Fisher, tinggal di Swiss
- Karina Ratna Kanya, tinggal di Singapura
- Winda Oktaviana, tinggal di Linkuo, Taiwan
- Tunjiah, tinggal di Kowloon, Hong Kong
- Muji Hasanah, tinggal di Hong Kong
- Agus Riwayanto, tinggal di Horoekimae, Jepang
- Budi Satya Pramudia, tinggal di Beckenham, Australia
- Jumiko Sakarosa, tinggal di Gosnells, Australia
- Ratih Ratna Purnami, tinggal di Langford, Australia
- Fatma Lenggogeni, tinggal di New South Wales, Australia
- Edwin Syafdinal Syafril, tinggal di Al-Khor, Qatar
- Agri Sumara, tinggal di Al-Kohr, Qatar.