Bandung, Bewajarajabar.com. – Ketika sistem hukum seharusnya menjadi pelindung keadilan, justru yang terjadi sebaliknya. Seorang pria lanjut usia berusia 70 tahun, berinisial MT—seorang ayah, suami, dan warga negara—kembali menghadapi luka hukum yang dalam. Meski Mahkamah Agung melalui Peninjauan Kembali (PK) telah menyatakan bahwa ia terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan namun bukan merupakan tindak pidana, ia tetap menghadapi ancaman penahanan kembali.
Putusan Mahkamah Agung RI dengan Nomor 71 PK/Pid/2025 tertanggal 10 April 2025 menyatakan MT lepas dari segala tuntutan hukum (onslaag van recht vervolging). Artinya, meskipun MT melakukan perbuatan yang didakwakan, perbuatan itu secara hukum tidak dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, MT secara otomatis dibebaskan dari segala bentuk pemidanaan dan seharusnya dapat segera menghirup udara bebas tanpa ancaman baru.
Namun, ironi muncul. Hanya dua hari setelah bebas dari Rumah Tahanan pada 15 April 2025, MT kembali dikejutkan oleh keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung. Dalam sidang Perkara Nomor: 786/Pid.B/2024/PN.Bdg yang masih dalam tahap pemeriksaan dan belum sampai pada putusan, majelis hakim justru mengeluarkan penetapan baru untuk menahan kembali MT pada tanggal 17 April 2025.
Tim Kuasa Hukum Soroti Kejanggalan: Ancaman Kriminalisasi Sistematis
Tim Kuasa Hukum MT, yang terdiri dari gabungan dua kantor hukum, yakni Kantor Hukum Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H., MM. dan Randy Raynaldo & Partners Law Office, menyebut keputusan ini janggal dan tidak mencerminkan keadilan hukum. “Putusan PK seharusnya menjadi bukti kuat bahwa MT merupakan korban dari proses kriminalisasi yang sistematis,” ujar Dr. Yopi Gunawan.
Tim hukum juga menyoroti dasar penahanan yang diajukan oleh pihak Kejaksaan pada 16 April 2025, hanya satu hari sebelum hakim menerbitkan Penetapan Penahanan. Alasannya? Agar proses pemeriksaan dan eksekusi lebih mudah jika terdakwa dinyatakan bersalah. Sebuah alasan yang menurut banyak pihak—termasuk tim kuasa hukum—tidak masuk akal dan mencederai prinsip keadilan.
“Sudah 8 bulan di dakwa dipersidangan dan belum diputus, perkara yang memakan waktu panjang tersebut menjadi rekor perkara pidana yang memakan waktu paling lama,” ujar Yopi.
Kuasa hukum lainnya, Randy Raynaldo, S.H., M.H., menyatakan ini bukan hanya soal hukum acara, tapi juga soal kemanusiaan. “Klien kami adalah lansia dengan kondisi kesehatan menurun. Tidak ada alasan logis bahwa ia akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.”
Hakim Disorot, Prosedur Disoal
Lebih memprihatinkan, Ketua Majelis Hakim dalam perkara ini diketahui pernah tersorot media karena dugaan pelanggaran etik. Hal ini makin menambah kekhawatiran publik mengenai integritas dan objektivitas dalam proses hukum yang sedang berjalan.
Edward Edison Gultom, S.H., salah satu kuasa hukum MT, mengkritik keras tindakan majelis yang dianggap terburu-buru dalam menetapkan penahanan, bahkan tanpa memberikan kesempatan kepada terdakwa atau kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan.
“Ini melanggar prinsip fair trial dan due process of law,” ujarnya. “Hukum tidak boleh dijalankan dengan semangat balas dendam atau formalitas semata, melainkan harus mengedepankan asas proporsionalitas dan kemanusiaan.”
Sidang Dramatis: Teriakan Keadilan Menggema
Suasana ruang sidang menjadi haru saat Yoshua Gerladine, S.H., M.H., salah satu kuasa hukum MT, membacakan surat permohonan penangguhan penahanan. Dengan suara lantang namun tertahan emosi, ia menegaskan bahwa baik syarat objektif maupun subjektif untuk dilakukan penahanan tidak terpenuhi dalam perkara ini.
Sementara itu, Amaila Refsi Ika Rizky, S.H., menambahkan bahwa majelis seharusnya melihat permasalahan ini dari sudut pandang yang objektif dan berlandaskan nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat. “Kami memohon agar penahanan tidak dilakukan demi prinsip keadilan substantif,” ujarnya.
Akhir yang Masih Menggantung
Menanggapi gelombang kritik, Majelis Hakim akhirnya menghimbau dua pihak—baik Tim Kuasa Hukum maupun Penuntut Umum—untuk menyampaikan permohonan masing-masing, yakni permohonan penangguhan penahanan dan eksekusi penahanan. Hal ini untuk memberikan ruang pertimbangan lebih lanjut sebelum keputusan final.
“Setidaknya, kami mengapresiasi langkah majelis yang tidak serta-merta mengeksekusi penahanan dan membuka peluang diskusi demi pertimbangan objektif dari semua pihak,” pungkas Dr. Yopi Gunawan.
Refleksi Publik: Ketika Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah
Kisah MT bukan hanya tentang seorang kakek yang terombang-ambing oleh ketidakpastian hukum. Ini adalah potret buram wajah hukum Indonesia hari ini—ketika keadilan prosedural tidak beriringan dengan keadilan substantif.
Ketika hukum mulai kehilangan hati nuraninya, maka masyarakatlah yang harus bersuara. Karena jika hukum gagal menjadi pelindung yang adil, maka suara rakyatlah yang menjadi penjaga terakhir keadilan itu sendiri.***