Jakarta, Bewarajabar — Indonesia Education Forum menggelar 2nd Annual Indonesia Education Forum 2021 dengan tema “TRANSFORMING EDUCATION: Fostering Creativity & Critical Thinking” yang menghadirkan beberapa pembicara utama seperti Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim; Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Iwan Syahril, Ph.D., serta Co-Founder Orbit Future Academy, Ilham Habibie. Acara ini turut dihadiri oleh lebih dari 1500 peserta dari berbagai organisasi dan institusi pendidikan.
Dalam sesi Fireside Chat dengan Ilham Habibie, Co-Founder Orbit Future Academy, Menteri Nadiem Makarim menyampaikan beberapa hal. Pertama, transformasi di dunia pendidikan yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat berbagai inisitaif dilandaskan pada pemanfaatan teknologi sebagai enabler yang pada akhirnya akan meng-upgrade kemampuan atau produktivitas pelaku sektor pendidikan itu sendiri khususnya para guru.
Menurutnya, Indonesia tidak hanya menjadi konsumen teknologi dan memahami bagaimana cara menjalankan sebuah teknologi, namun juga perlu menjadi produsen teknologi. Adanya kemampuan tersebut memungkinkan tidak hanya menciptakan platform yang akan digunakan di internal kementerian, namun juga mengubah filosofi cara kementerian mengeksekusi satu program. Dengan berbasiskan data, kementerian bisa menggunakan informasi yang ada untuk menentukan kebijakan secara lebih dinamis. Teknologi juga dimanfaatkan untuk mereformasi birokrasi yang cenderung selalu menyeragamkan (standarisasi) semua hal.
“Saya merupakan salah satu yang menentang prinsip one-size-fits-all, misalnya dalam hal penilaian siswa. Model atau sistem penilaian yang terstandarisasi adalah salah satu isu terbesar di dunia pendidikan. Dengan tujuan awal untuk mempermudah menilai siswa, membandingkan siswa, kami menstandarisasi kurikulum, ujian dan banyak hal lainnya. Inilah bahayanya dalam melakukan transformasi pendidikan. Menurut pemikiran saya, teknologi memainkan peranan pivotal dan membuktikan bahwa kita bisa mengukur banyak hal tanpa perlu menstandarisasinya. Saya rasa ini merupakan hal yang sangat kuat dalam mentransformasi apa yang terjadi di dalam kelas sepanjang waktu,” kata Nadiem.
Kedua, perlunya membangun talenta yang memiliki critical thinking mengingat besarnya gap antara permintaan industri dengan ketrampilan yang dimiliki lulusan Indonesia saat ini. Sistem pendidikan Indonesia juga perlu menghasilkan lulusan yang bisa menjadi pengusaha mikro, mengingat Indonesia memiliki begitu banyak angkatan kerja yang belum siap pakai. Sayangnya, di sistem pendidikan calon angkatan kerja tidak terbiasa atau tidak pernah memiliki simulasi terkait dunia kerja sesungguhnya.
“Mahasiswa atau pelajar kita tidak memiliki gambaran terkait kehidupan di lingkungan kantor karena di kampus atau sekolah tidak pernah ada simulasi terkait seperti apa lingkungan kerja sesungguhnya,” tambah Nadiem
Menteri Nadiem juga menjawab beberapa pertanyaan dari pembicara lain termasuk dari kalangan swasta. Menjawab pertanyaan dari Shweta Khurana, Direktur APJ – Global Partnership and Initiatives Group, Intel Corporation terakit upaya pemerintah untuk beralih dari konsumen teknologi menjadi produsen teknologi, Menteri Nadiem menyatakan sebenarnya menjadi produsen teknologi tidak akan menyerap tenaga kerja yang besar, katakanlah 20% dari total penduduk Indonesia dalam sekejap, namun bisa meningkatkan produktivitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan.
“Permintaan pasar terhadap profesi seperti programmer, software engineers, light material designers, UX engineers, UI engineers memang tinggi. Kami ingin menjadi produsen teknologi lewat dua cara. Pertama, menghadirkan para praktisi untuk mengajar di kampus. Kedua, menempatkan pelajar untuk belajar di kantor – kantor perusahaan teknologi. Saat ini pemerintah masih mensubsidi program ini. Ini adalah cara tercepat yang bisa dilakukan. Karena kalau dengan cara biasa, diperlukan mungkin 20 tahun untuk mentransformasi setiap departemen atau fakultas komputer di seluruh Indonesia. Kalau kita bisa mempekerjakan 10% saja dari yang terbaik, itu sudah bagus,” kata Nadiem.
Menjawab pertanyaan dari Dr. Rani Burchmore, Asia Pacific Education Industry Lead (K-12 Strategy, Sales and Programs), Microsoft, terkait rencana pemerintah untuk menerapkan kurikulum berbasis permainan, Menteri Nadiem menjelaskan bahwa kementerian ingin menerapkannya dalam waktu dekat. Pendekatan berbasis permainan, proyek, builder ataupun maker dimaksudkan agar talenta memiliki pemikiran berbasis engineer.
“Setiap orang perlu memiliki engineering mindset, apakah dia penyanyi, aktris, filsuf, musisi, siapapun. Anda perlu memiliki engineering mindset untuk menyikapi masalah dalam hidup anda, atau menata karir anda dan untuk mengatasi masalah – masalah baru yang akan terus hadir dalam hidup anda,” kata Nadiem.
Menjawab pertanyaan dari Jaspal Sidhu, Founder and Chairman SIS & Inspirasi Group of Schools terkait rencana pemerintah dalam mengembangkan model kerjasama publik swasta (PPP), Menteri Nadiem menyatakan bahwa sekolah penggerak merupakan salah satu bentuk PPP yang dikembangkan kementerian dimana dibuka kesempatan seluas-luasnya bagi NGO bahkan organisasi untuk menjalankan program full semester di organisasi mereka.
“Kita tidak secara eksplisit menerapkan jenis kerjasama misalnya seperti Charter School di AS karena adanya regulasi yang cukup kompleks dan sebagainya. Kami punya versi Charter School sendiri, yang mana kami mendirikan 2.000 sekolah penggerak tahun ini dan akan meningkat menjadi 5.000 sekolah penggerak di tahun – tahun berikutnya. Kami melakukan transformasi holistik, dimana banyak pengajar dari sektor swasta bergabung dalam program ini. Kita tidak memiliki atau menjalankan sekolah itu, tapi dengan model sekolah penggerak ini sudah merupakan satu kemajuan yang besar karena kita jadi lebih terlibat secara aktif,” kata Nadiem.
Juga berbicara dalam acara 2nd Annual Indonesia Education Forum, Gunawan Susanto selaku Country General Manager, AWS Indonesia mengatakan bahwa dalam 12 bulan terakhir, banyak pelaku usaha tidak hanya start-up tapi juga perusahaan tradisional dipaksa beralih ke digital. Ini menggambarkan adanya gap skill yang dihadapi para pelaku usaha tersebut. Salah satu gap skill terbesar adalah cloud computing. AWS melalui program pendidikannya yang di personalisasi untuk Indonesia akan membantu pemerintah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengatasi skill gap di bidang cloud computing.
“Salah satu program kami yang sudah berjalan adalah AWS Educate Academy dan sertifikasi untuk siswa K-12 ataupun pelajar berumur 14 tahun ke atas. Kami juga banyak bekerja sama dengan berbagai stakeholder termasuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata Gunawan.
2nd Annual Indonesia Education Forum didukung oleh Knowledge Partner (AWS Educate), dan Transformation Partner (SIS & Inspirasi Group of Schools, Microsoft, Orbit Future Academy & Intel Corporation).