Bandung, Bewarajabar.com – Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPRD Kota Bandung menyampaikan pandangan umum terkait Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025, dalam Rapat Paripurna di Gedung DPRD Kota Bandung, Jumat, 4 Juli 2025.
Rapat paripurna ini dipimpin oleh Ketua DPRD Kota Bandung H. Asep Mulyadi, S.H., serta dihadiri para Anggota DPRD Kota Bandung. Hadir dalam rapat paripurna itu, Wali Kota Bandung Muhammad Farhan, Sekda Kota Bandung Iskandar Zulkarnain, unsur Forkopimda, serta jajaran pimpinan OPD.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyampaikan pandangan umum terhadap Rancangan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2025 dengan senantiasa berpegang pada prinsip-prinsip kemaslahatan dan keadilan dalam pengelolaan keuangan daerah.
1. Pendekatan Normatif dan Ushul Fiqh
Dalam perspektif Ushul Fiqh, kebijakan anggaran merupakan bagian dari tadbīr al-maṣlaḥah al-‘āmmah (pengelolaan kemaslahatan umum). Oleh karena itu, perubahan APBD harus memperhatikan azas al-maṣlahah al-mursalah — yakni kemaslahatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash, namun dibenarkan secara akal dan syara’.
“Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang tidak memiliki dalil spesifik, namun tidak bertentangan dengan dalil syar’i”.
Dalam hal ini, penganggaran untuk kebutuhan dasar, perlindungan sosial, serta pembangunan infrastruktur yang adil dan merata merupakan bentuk nyata dari penerapan maqāṣid al-syarī‘ah, khususnya dalam menjaga al-nafs (jiwa), al-māl (harta), dan al-dīn (agama).
2. Pendapatan Daerah
Fraksi PKB mengapresiasi upaya Pemerintah Kota Bandung yang telah meningkatkan target PAD dari Rp4,12 triliun menjadi Rp4,14 triliun, terutama dari sektor retribusi daerah. Namun demikian, stagnasi pada pendapatan pajak daerah menunjukkan masih lemahnya optimalisasi potensi sumber daya daerah.
Kaidah Fiqih:
“Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan mereka.”
Maka, Fraksi PKB mendorong agar pengelolaan PAD tidak hanya bergantung pada retribusi dan pajak yang bersifat konsumtif, namun diarahkan pula pada pemberdayaan ekonomi rakyat dan sektor produktif berbasis UMKM.
3. Belanja Daerah
Kenaikan belanja daerah sebesar Rp551,26 miliar dalam Perubahan APBD 2025 patut dicermati secara kritis. Fraksi PKB menekankan pentingnya al-taḥqīq li al-maṣlaḥah, yaitu verifikasi bahwa setiap belanja daerah benar-benar bermuara pada maslahat rakyat.
Fraksi PKB mencermati adanya penurunan anggaran bantuan sosial dan belanja tidak terduga, yang justru rawan menurunkan daya tahan sosial masyarakat. Maka kami minta:
a. Realokasi belanja yang lebih adil bagi sektor sosial keagamaan, pendidikan madrasah diniyah, pondok pesantren, dan layanan kesehatan berbasis masyarakat.
b. Keterbukaan data penggunaan belanja modal, agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan antar wilayah kota.
Kaidah Fiqih:
“Menolak kerusakan harus lebih diutamakan daripada menarik kemaslahatan.”
Dengan demikian, belanja harus diarahkan untuk mencegah kerusakan sosial, lingkungan, dan ekonomi yang lebih luas.
4. Pembiayaan Daerah
Penambahan pembiayaan dari SILPA sebesar Rp455,53 miliar menunjukkan ketergantungan yang tinggi pada sisa anggaran. Fraksi PKB mengingatkan bahwa SILPA bukan sumber pembiayaan ideal dalam jangka panjang. Penggunaan SILPA harus bersifat darurat dan terarah, untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang tidak ter-cover oleh anggaran reguler.
Kaidah Ushul:
“Keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlarang (dalam batas tertentu).”
Namun, jika darurat digunakan secara terus-menerus, maka akan menjauhkan pengelolaan anggaran dari prinsip istikrār (stabilitas) dan ḥusn al-tadbīr (pengelolaan yang baik).
Fraksi PKB mendukung prinsip-prinsip efisiensi, transparansi, dan orientasi pada pelayanan publik sebagaimana diarahkan dalam Inpres No. 1 Tahun 2025 dan Permendagri No. 77 Tahun 2020. Namun dukungan ini diberikan dengan catatan kritis dan korektif agar perubahan anggaran benar-benar berpihak pada rakyat. Fraksi PKB mendorong:
1. Kebijakan anggaran berbasis keadilan sosial dan spiritualitas keislaman, dengan memperhatikan kelompok rentan, pesantren, dan kader keagamaan.
2. Penguatan peran masjid dan lembaga keagamaan dalam program pembangunan sosial.
3. Transparansi data dan pelibatan masyarakat sipil dalam proses perubahan APBD.***
Discussion about this post