Bandung, Bewarajabar.com – Sidang kasus penggelapan dana Rp100 miliar dengan terdakwa MT kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Kamis 20 Februari 2025. Sidang berlangsung di ruang III menghadirkan ahli hukum Pidana dari Universitas Tarumanagara, Dr. Hery Firmansyah,S.H.,M.Hum.,MPA.
Dalam persidangan itu Dr. Hery Firmansyah
memberikan keterangan mengejutkan terkait barang bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Tim Kuasa Hukum terdakwa mengklaim bahwa MT justru mengalami kerugian, karena MT memberikan cek kepada Pelapor yang kemudian cek tersebut telah dicairkan oleh pelapor melebihi Rp100 miliar.
Seperti yang didakwakan oleh JPU bahwa pelapor menderita kerugian sebesar Rp100 miliar, sementara bukti-bukti yang diajukan JPU yaitu ratusan lembar cek-cek yang belum dicairkan, menurut Keterangan ahli tidak relevan dengan tuduhan yang didakwakan oleh JPU.
Keterangan Ahli Hukum Pidana Dr. Hery Firmansyah,S.H.,M.Hum.,MPA menegaskan bahwa dalam proses perkara pidana harus ada profesionalisme dan akuntabilitas, karena kesalahan dalam penyidikan dan penuntutan dapat merugikan hak asasi terdakwa.
“Perkara pidana harus dilakukan secara profesional dan akuntabel. Jangan sampai ada konsekuensi yuridis yang merugikan seseorang secara hukum dan kebebasan HAM. Hakim Yang Mulia perlu melihat apakah ada ketidaktepatan dalam tahap penyidikan dan penuntutan agar keadilan benar-benar bisa ditegakkan,” kata Dr. Heri Firmansyah di persidangan.
Pihaknya pun mempertanyakan validitas barang bukti yang diajukan JPU dalam pasal 39 KUHAP, yang menyebut bahwa barang bukti harus relevan dengan perkara yang sedang disidangkan.
“Barang bukti yang dihadirkan di persidangan perlu diuji kembali. Jika tidak memiliki relevansi langsung dengan perbuatan pidana yang didakwakan, maka seharusnya diabaikan,” tandasnya.
Kuasa Hukum Terdakwa Sebut Dakwaan tidak bisa Dibuktikan, Justru Terdakwa yang Rugi!
Salah seorang kuasa hukum terdakwa, Edward Edison Gultom, S.H., membantah tuduhan penggelapan yang dialamatkan kepada MT. Mereka menilai bahwa terdakwa justru mengalami kerugian finansial lebih besar daripada yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
“Kalau berangkat dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang menyebut terdakwa menggelapkan uang sebesar Rp100 miliar, maka berdasarkan hitung-hitungan kami, terdakwa justru sudah membayar lebih dari Rp103 miliar. Sementara jika melihat total transaksi Rp1,3 triliun, justru terdakwa kelebihan bayar sekitar Rp 36 miliar,” kata Edward.
Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada nilai transaksi semata, melainkan apakah perbuatan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum benar-benar bisa dibuktikan secara hukum atau tidak.
“Dari keterangan ahli yang dihadirkan di persidangan, kami semakin yakin bahwa dakwaan JPU tidak bisa dibuktikan. Fakta yang terjadi justru kebalikannya, terdakwalah yang mengalami kerugian, bukan pelapor,” tambahnya.
Ratusan Cek Dijadikan Barang Bukti, Tapi Belum Digunakan?
Salah satu poin krusial dalam sidang ini adalah barang bukti yang diajukan oleh JPU, yaitu ratusan lembar cek yang disebut terkait dengan dugaan penggelapan. Namun, menurut Tim Kuasa Hukum terdakwa, sebagian besar cek tersebut belum pernah digunakan/dicairkan, sehingga tidak memiliki relevansi dengan tindak pidana yang dituduhkan.
“Barang bukti dalam perkara pidana harus memiliki keterkaitan langsung dengan kejahatan yang didakwakan. Seperti dalam kasus penusukan, barang bukti yang relevan adalah pisau yang digunakan untuk menusuk korban. Namun, dalam kasus ini, Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ratusan lembar cek-cek yang bahkan belum digunakan/dicairkan. Apakah itu bisa dianggap sebagai alat bukti tindak pidana,” kata Edward Gultom mempertanyakan.
Tim Kuasa Hukum : Jaksa Penuntut Umum Bisa Menuntut Bebas Jika Dakwaan Tak Terbukti
Dr. Yopi Gunawan, S.H.,M.H,M.M, salah satu Tim Kuasa Hukum MT pun mempertanyakan validitas tuntutan JPU. Menurutnya, jika tidak ada bukti kuat yang membuktikan kesalahan (sculd) terdakwa, maka jaksa memiliki wewenang untuk menuntut bebas terdakwa sesuai prinsip keadilan hukum.
“Dalam persidangan, ahli menerangkan bahwa jika dakwaan jaksa tidak terbukti, maka Jaksa Penuntut Umum seharusnya menuntut bebas terdakwa. Ini yang perlu menjadi perhatian hakim dalam memutus perkara ini,” ujar Dr. Yopi Gunawan.
Ia menyoroti isu cek kosong yang dijadikan alat bukti, dengan menyatakan bahwa tidak semua cek kosong bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
“Ahli menjelaskan bahwa kita harus melihat konteks penerbitan cek kosong tersebut. Apakah benar-benar cek kosong atau sudah digantikan dengan cek lainnya, sehingga cek-cek tersebut harus dikembalikan bukan sebaliknya malah dicairkan. Jangan sampai ada pihak yang memanfaatkan celah hukum untuk mempidanakan seseorang hanya karena memiliki cek yang seharusnya dikembalikan,” tegasnya.
Sidang Berlanjut, Akankah MT Dibebaskan ?
Sidang kasus penggelapan Rp100 miliar ini semakin menarik perhatian publik, terutama setelah bukti-bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum mulai dipertanyakan validitasnya.
Tim Kuasa Hukum terdakwa semakin percaya diri bahwa dakwaan tidak akan bisa dibuktikan, dan kemungkinan MT bisa mendapatkan vonis bebas semakin terbuka lebar.
Dengan berbagai fakta yang terungkap dalam persidangan, kini bola panas ada di tangan Majelis Hakim PN Bandung, yang harus menentukan apakah tuduhan Jaksa Penuntut Umum benar-benar berdasar atau hanya sekadar asumsi tanpa bukti kuat.
Akankah MT terbebas dari jeratan hukum ? Atau ada kejutan lain dalam sidang berikutnya? Kita tunggu perkembangan selanjutnya,” tegasnya lagi.***