Bandung, Bewarajabar.com — Sidang perkara pidana senilai Rp100 miliar dengan terdakwa MT kembali menyita perhatian publik usai Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung menjatuhkan vonis 3 tahun penjara. Putusan ini dibacakan dalam sidang di Ruang Sidang III oleh Ketua Majelis Hakim Tuty Haryati dalam perkara bernomor 786/Pid.B/2024/PN.Bdg.
Terdakwa MT dinyatakan bersalah melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya menuntut 3 tahun 6 bulan penjara.
Perkara ini mencuat setelah pelapor, The Siauw Tjhiu, mengaku mengalami kerugian usai memberikan pinjaman sebesar Rp100 miliar kepada MT. Dana disalurkan dalam bentuk cek, namun saat dicairkan, ratusan lembar cek tersebut ditolak bank karena tidak tersedia dananya. Pelapor kemudian melaporkan MT ke Polda Jawa Barat dan kasus berlanjut ke pengadilan.
Namun, putusan ini justru memicu polemik. Tim Penasihat Hukum terdakwa menyatakan keberatan dan mempertanyakan dasar pertimbangan majelis hakim. Edward Edison Gultom, S.H., salah satu penasihat hukum terdakwa, menyebut ada kekeliruan fatal dalam logika hukum putusan tersebut.
“Majelis Hakim menyatakan klien kami bersalah karena tidak bisa membuktikan bahwa ia tidak melakukan penipuan. Ini jelas keliru. Yang wajib membuktikan kesalahan adalah jaksa, bukan terdakwa. Ini bertentangan dengan prinsip dasar dalam hukum pidana kita,” tegas Edward.
Selain itu, tim hukum juga mempersoalkan penggunaan Pasal 64 KUHP tentang perbuatan berlanjut dalam pertimbangan hakim. Padahal pasal tersebut tidak pernah dicantumkan dalam dakwaan maupun tuntutan jaksa. Edward menilai tindakan hakim ini sebagai ultra petita, atau putusan yang melampaui permintaan, yang secara yuridis bisa dinyatakan cacat hukum.
Keanehan lainnya terletak pada bukti cek kosong. Dari 472 lembar cek yang disebut tidak bisa dicairkan, sebagian besar baru dicairkan pada tahun 2021, sementara kesepakatan pinjaman terjadi di tahun 2017–2018. Tim penasihat hukum menilai hal ini membuktikan tidak ada niat awal untuk menipu, justru lebih mirip upaya pelapor melakukan window dressing terhadap performa rekening.
“Kalau benar ingin menipu, cukup satu-dua cek saja. Kenapa harus 472 lembar? Ini bukan pola penipuan, tapi justru menunjukkan indikasi lain yang perlu didalami,” tambah Edward.
Atas putusan ini, penasihat hukum menyatakan masih pikir-pikir dan akan mempelajari salinan resmi putusan untuk menentukan langkah hukum berikutnya, termasuk kemungkinan mengajukan banding.
Dr. Yopi Gunawan, S.H., M.H., salah satu pengacara senior tim tersebut juga menyatakan sikap serupa, mengingat masih banyak pertimbangan hukum yang belum tersampaikan di ruang sidang.
Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum juga menyatakan masih mempertimbangkan apakah akan menerima putusan tersebut atau mengajukan upaya hukum lanjutan.
Kasus ini menjadi cerminan kompleksitas hukum dalam perkara perdata yang dibawa ke ranah pidana. Penggunaan cek dalam jumlah besar tanpa dana yang tersedia memang bisa menyeret pihak terlibat ke meja hijau, namun dalam kasus MT, perdebatan soal siapa yang sebenarnya harus membuktikan masih menjadi kontroversi tajam.
Dengan posisi kedua belah pihak yang masih pikir-pikir, perkara ini berpotensi berlanjut ke tingkat banding dan menjadi preseden penting dalam hukum pembuktian perkara penipuan di Indonesia.***
Discussion about this post