Jakarta, Bewarajabar – Para pemimpin bisnis di seluruh dunia sedang bergulat dengan dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. Ketika pemerintah mengeluarkan perintah lockdown untuk menghentikan penyebaran virus, bisnis beradaptasi dengan new normal ketika pekerja mulai bekerja dari rumah, pabrik mengotomatisasi dan digitalisasi menjadi pendorong utama pertumbuhan.
Tetapi bahkan ketika perusahaan fokus pada pandemi Covid-19, mereka tidak seharusnya mengesampingkan pertahanan dan pertumbuhan jangka panjang bisnis mereka. Menjadi sustainable tidak hanya memperhatikan kontinuitas tetapi juga berbisnis melalui cara yang tepat tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, komunitas atau masyarakat secara keseluruhan.
Faktanya, tindakan yang diambil perusahaan untuk menangani pandemi akan membawa mereka lebih dekat ke multi-stakeholder, prinsip jangka panjang yang terletak di jantung prinsip-prinsip ESG (Environmental, Social & Governance).
“Semakin diakui bahwa bisnis yang tidak sustainable, tidak dapat bertahan,” kata Glenn Hoetker, Professor of Business Strategy, Melbourne Business School and MBS Foundation Chair of Sustainability & Business. “Bisnis yang tidak memperhatikan kesejahteraan manusia dan planet akan semakin sulit mempertahankan profitabilitas dalam jangka panjang.”
Dalam setiap survei, ditemukan bahwa semakin banyak organisasi yang mengintegrasikan sustainability ke dalam strategi bisnis mereka. Isu tersebut telah berpindah dari tepian kegiatan CSR menjadi isu bisnis inti yang menjadi pusat diskusi di ruang rapat perusahaan.
Sebuah survei tahun 2020 oleh PwC tentang ekspektasi untuk ESG menemukan bahwa, meskipun 83 persen konsumen harus secara aktif membentuk praktik ESG terbaik, 91 persen pemimpin bisnis melaporkan bahwa perusahaan mereka memiliki tanggung jawab untuk bertindak atas masalah ESG, dan lebih dari $51 miliar masuk ke ESG-impact funds pada tahun 2020, banyak konsumen dan eksekutif tidak yakin bahwa bisnis telah melakukan investasi yang cukup menuju praktik ESG yang lebih baik.
Adanya inti sustainability yang kuat tidak hanya baik untuk planet ini, tetapi juga penting untuk pertumbuhan bisnis dan profitabilitas. Investor semakin memperhatikan berbagai faktor seperti jejak karbon perusahaan, penggunaan air, upaya pengembangan komunitas, dan keragaman dewan direksi yang penting bagi proses pengambilan keputusan mereka.
Saat ini, lebih dari 40 persen arus investasi global didorong oleh ESG. Paradigma lama yang hanya berfokus pada nilai pemegang saham dan profitabilitas menyusut karena investor hanya berinvestasi di perusahaan yang memiliki praktik berkelanjutan yang kuat.
“Dengan demikian, sustainability telah menjadi pusat dari semua operasi bisnis. Ini juga berlaku untuk Indonesia karena bank juga telah mengubah persyaratan pinjaman mereka untuk menerapkan pedoman dan prinsip ESG,” kata Profesor Hoetker.
Ini berlaku untuk hampir setiap industri, termasuk perusahaan pertambangan yang sekarang menjadi lebih hijau dengan mengurangi jejak karbon mereka. Dengan demikian, mereka tidak hanya meningkatkan efisiensi tetapi juga menaikkan harga saham mereka.
Di bawah Presiden Joko Widodo, pemerintah telah menempatkan perekonomian pada jalur pembangunan yang hijau dan sustainable seperti yang telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Tetapi ini akan membutuhkan investasi yang signifikan diperkirakan antara US$300 miliar hingga US$530 miliar dengan porsi besar dari investasi yang dibutuhkan di infrastruktur kritis serta area sensitif lingkungan seperti pertanian, kehutanan, energi, pertambangan dan limbah. Selain itu, pembiayaan UKM dan industri sangat penting untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan produktivitas.
Menurut OJK (Otoritas Jasa Keuangan), saat ini mayoritas bank dan lembaga non-keuangan tidak mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial dan tata kelola dalam proses pinjaman dan investasi mereka sebagai pertimbangan utama. Tapi itu berubah. Pasar uang Indonesia telah melihat sejumlah desain dan inovasi penting selama beberapa tahun terakhir untuk mendorong green lending dan investasi seperti pengembangan sustainability ratings di pasar sahamnya yang berkembang pesat.
Pemerintah Indonesia juga telah mulai mengambil langkah untuk menghijaukan beberapa aspek sistem keuangan dengan meluncurkan Roadmap oleh OJK untuk sustainability finance pada tahun 2014. Sebagai bagian dari roadmap tersebut, OJK akan mengembangkan kerangka peraturan yang mengikat untuk keuangan hijau yang dapat mencakup pembentukan sistem manajemen wajib dan sosial serta pelaporan terkait di perbankan dan pasar modal.
Saati ini momentum sedang dibangun dan ESG telah bergerak melampaui komitmen verbal untuk berbuat kebaikan. Di Bursa Efek Indonesia (BEI) misalnya, Indeks Saham Sustainable and Responsible Investment (SRI)–KEHATI mengungguli indeks utama. Sejak 30 Desember 2009 hingga 30 Desember 2019, indeks SRI KEHATI menghasilkan return sebesar 173,66 persen dibandingkan IHSG yang memiliki return 148,57 persen.
Indeks SRI-KEHATI melacak 25 saham perusahaan publik, di antaranya perusahaan agribisnis PT Astra Agro Lestari; PT Bank Central Asia; dan manufaktur makanan raksasa, PT Indofood Sukses Makmur.
“Sustainability adalah tren makro besar yang paralel dengan pandemi Covid-19,” kata Profesor Hoetker. “Itu terjadi pada kita, tetapi perbedaannya adalah bagaimana kita masing-masing menanggapi tren ini sebagai individu, perusahaan, pemerintah, dan negara.”