Bewarajabar.com – Penyidikan terhadap kasus investasi bodong berkedok trading binary option terus dilanjutkan pihak kepolisian.
Kasus ini menyeret dua nama influencer yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka, Indra Kesuma alias Indra Kenz, dan Doni Muhammad Taufik alias Doni Salmanan.
Indra Kenz ditetapkan sebagai tersangka dugaan penipuan aplikasi Binomo pada 24 Februari 2022.
Ia terancam hukuman 20 tahun penjara atas dugaan tindak pidana judi online dan/atau penyebaran berita bohong melalui media elektronik dan/atau penipuan, perbuatan curang dan/atau tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Indra Kenz disangkakan dengan Pasal 45 ayat 2 jo pasal 27 ayat 2 dan/atau Pasal 45 ayat 1 jo pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
Kemudian, Pasal 3 dan/atau Pasal 5 dan/atau Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU, dan Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 KUHP. Sementara, Doni Salmanan ditetapkan sebagai tersangka dugaan penipuan aplikasi Quotex pada 8 Maret 2022.
Doni dijerat Pasal 45 ayat 1 junto 28 ayat 1 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Pasal 378 KUHP, dan Pasal 3 Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Hingga kini, polisi masih terus menelusuri aset Indra Kenz dan Doni Salmanan.
Terhadap kasus Indra Kenz, polisi sudah melakukan penyitaan sejumlah aset, seperti mobil listrik merek Tesla, mobil Ferrari, dan 2 rumah mewah di Medan yang nilainya ditaksir mencapai Rp 1,7 miliar.
Polisi juga akan menyita sejumlah aset lainnya seperti rumah di Deli Serdang seharga Rp 6 miliar, rumah di Tangerang, hingga unit apartemen di Medan seharga Rp 800 juta.
Pada kasus Quotex, polisi telah memblokir rekening milik Doni Salmanan. Namun, pihak kepolisian belum bisa menginformasikan berapa jumlah rekening dan nilai uang yang diblokir.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri mengungkapkan, kerugian korban dalam kasus penipuan Indra Kenz mencapai lebih dari Rp 25 miliar, tepatnya Rp 25.620.605.124.
Jumlah tersebut diperoleh penyidik dari total 14 korban yang sudah dimintai keterangan. Lantas, mungkinkah uang milik para korban penipuan Indra Kenz dan Doni Salmanan kembali?
Ada peluang Merespons ini, pakar hukum pidana bidang TPPU Yenti Garnasih mengatakan, uang para korban bisa dikembalikan. Polisi dapat menelusuri aliran uang tersebut melalui pengusutan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Harus bisa (dikembalikan). Harusnya begitu, tinggal nanti ini mampu tidak melacak (aset)nya, makanya cepat-cepat,” kata Yenti dikutip dari Kompas.com, Rabu (9/3/2022).
Yenti berharap, nantinya putusan pengadilan tidak keliru sehingga bisa benar-benar mengembalikan aset kepada pihak yang berhak atau korban. Ia kemudian menyinggung kasus First Travel.
Pada tahun 2019 lalu, Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung memutuskan bahwa aset dalam First Travel justru dikembalikan kepada negara, bukan korban.
Oleh karenanya, Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia ini mengingatkan penyidik polisi dan jaksa penuntut umum untuk membuat satu sangkaan dan dakwaan terkait TPPU kepada para tersangka kasus penipuan.
Nantinya, dakwaan itu bakal mempermudah polisi dan penyidik untuk melakukan upaya penyitaan aset pelaku kejahatan. “Yang penting investigator itu harus mendakwa dalam satu dakwaan. Artinya sangkaan sekarang juga dalam satu sangkaan,” kata Yenti.
Jalan berliku Sementara, menurut pakar hukum pidana Agustinus Pohan, uang para korban dalam kasus ini bisa saja dikembalikan melalui sejumlah langkah.
Agustinus menyarankan agar para korban penipuan, baik Binomo maupun Quotex, berhimpun dalam satu wadah guna membantu penyidik Bareskrim Polri melakukan penelusuran aset para tersangka.
“Sejak sekarang sebaiknya seluruh korban berhimpun dalam satu wadah dan membantu asset tracing dan meminta semua informasi tentang aset yang disita,” kata Agustinus, Rabu (9/3/2022).
Namun demikian, kata Agustinus, para korban, saat ini belum bisa mengajukan gugatan perdata kepada kedua tersangka karena harus menunggu putusan pidana. “Yang penting saat ini mencegah adanya pengalihan aset,” ujarnya.
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum pidana Eva Achjani Zulfa mengatakan, dalam sebuah sidang pengadilan perkara pidana, kepentingan korban seringkali dilupakan.
Padahal, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa barang bukti yang disita harus dilembalikan ke korban jika memang itu hak mereka.
“Namun beberapa kasus misalnya First Travel atau Jiwasraya ini tidak terjadi,” ujar Eva.
Dalam kasus korupsi Jiwasraya, Pasal 19 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membuka kesempatan untuk pengajuan gugatan keberatan manakala uang hak korban disita negara.
Dalam perkara pidana umum, lanjut Eva, mekanisme ini tidak dikenal. Namun, tidak menutup kemungkinan gugatan perdata dilakukan. Sedangkan dalam perkara First Travel, hakim pada Pengadilan Negeri Depok dan Pengadilan Tinggi Bandung memutuskan supaya seluruh aset para pelaku dan perusahaan dikembalikan kepada negara.
“Kalau perkara pidananya sudah putus, uang sudah disita negara, maka gugatan perdata kepada pelaku seolah-olah memperebutkan pepesan kosong,” ucap Eva.
“Yang paling aman pada dasarnya adalah penggabungan perkara pidana dan perdata. Namun, dalam praktIk hal ini jarang dilakukan oleh jaksa penuntut umum,” lanjutnya.
Kata OJK Di sisi lain, Ketua Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tongam L Tobing mengatakan, korban kasus investasi ilegal biasanya tidak akan mendapatkan pengembalian kerugian uang sepenuhnya.
Ia mengatakan, besarnya pengembalian itu tergantung dari hasil putusan pengadilan kelak. “Dalam berbagai kasus investasi ilegal, tidak pernah ada pengembalian kerugian 100 persen,” kata Tongam dilansir dari Kompas.com, Rabu (9/3/2022).
Selain itu, menurut dia, pengembalian kerugian kasus investasi ilegal sulit dilakukan. Sebabnya, perlu verifikasi data kerugian riil dari masing-masing investor.
Dalam beberapa kasus, ada investor yang sudah pernah mendapatkan keuntungan atau bonus atas investasi yang mereka tanamkan. Namun, hal itu kemudian kerap tidak diakui mereka.
“Perlu verifikasi data kerugian riil dari masing-masing investor, di mana sebagian investor bisa saja sudah pernah dapat untung atau bonus, tapi sering tidak diakui,” ucap Tongam.